Oct 30, 2013

Dua Bencong Satu Lekong


Angkot itu relatif kosong.Satu penumpang di samping sopir. Empat di belakang, termasuk saya. Dua penumpang yang duduk di pojok lah, yang membuat jantung saya terus berdebar. Waktu baru masuk ke angkot itu pun, mereka sudah menarik perhatian. Aroma parfum murahan yang menyengat hidung. Kalau diibaratkan gula, maka parfum itu adalah gula yang biasa ada di sirop murahan yang bisa membuat perut sakit. Ini mungkin yang sering disebut banyak orang sebagai minyak nyongnyong itu!

Awalnya, saya kira mereka pelacur kelas teri yang baru pulang kerja. Itu sampai saya dengar suara mereka. Cempreng, nge-bass, dan sedikit genit. Sialan! Jantung saya langsung berdebar keras. Mereka bencong!

Ketika masih ada penumpang lain, saya tidak terlalu takut. Baru ketika di angkot itu, tersisa saya dan dua bencong di kursi belakang, perasaan saya semakin tidak karuan. Deg deg. Deg deg. Deg deg. Saya penasaran sekaligus takut. Hehe. Sesekali saya curi pandang. Melihat tampang mereka.

Yang banyak bicara, berambut pirang. Kontras dengan kulitnya yang gelap. Yang satu lagi, berambut hitam. Wajahnya tidak semulus si pirang. Banyak jerawat. Keduanya memakai gaun hitam. Si pirang, malah memakai kemben.

Ya. Saya takut bencong. Apa ya istilahnya Bencong Phobia mungkin? Buat saya, mereka lebih mengerikan dari penata rambut, penata rias, bahkan preman. Oke, saya beberapa kali memang pernah melihat bencong bersama teman-teman. Di Jalan Sumatra, Veteran [kalau tidak salah], Bandung. Tapi itu, dari dalam mobil. Mereka di luar. Saya merasa aman.

Dan saya belum pernah sedekat itu dengan bencong!
Yang membuat saya takut, adalah dandanan mereka. Banci salon sih, masih berwujud laki-laki. Walaupun gaya bicara mereka seperti perempuan. Tapi bencong, itu mengerikan. Pakaiannya perempuan, wajahnya laki-laki yang dimake up. Dan suaranya, antara laki-laki dan perempuan. Semakin melengkapi ketakutan saya. Hahaha.

Sambil ketakutan, saya dengarkan obrolan mereka. Sepertinya sedang curhat soal percintaan. Ah. Bencong juga manusia. Bisa jatuh cinta. Ada yang mencintai juga. Itu yang saya pikir. Dan di sana, saya mendengar beberapa kosa kata yang membuat saya bertanya-tanya.

Baru kali ini, saya dengar bahasa Bencong digunakan dalam kalimat. Keduanya bicara dalam tiga bahasa. Indonesia, Sunda kasar dan bahasa Bencong. Jadinya, perasaan saya campur aduk. Takut, ingin cepat turun, tapi penasaran, sekaligus ingin tertawa mendengar bahasa mereka.

Damn! Saya lupa kosa kata apa saja yang saya dengar malam itu. Tadinya mau saya tulis. Tapi, saya terlalu takut. Hehe. Yang jelas, ada kalimat yang masih membekas di benak saya.
"Dia nggak mau diesong." Yang jelas, mereka senang sekali memasukkan imbuhan ong dalam kata. Lekong. Bencong. Dan ong ong yang lain yang saya dengar malam itu.

Dan mendengar obrolan mereka, akhirnya saya jadi tahu dari mana asal kata [maaf] disepong. Hehehe. Lantas, siapa pula yang memulai bahasa Bencong itu? Pasti ada seorang bencong yang bertanggungjawab atas adanya bahasa mereka. Apakah para bencong itu tahu sejarah mereka? Siapa Founding Father [or should I say, mother?] mereka?

Jangan-jangan, sudah ada Ensiklopedia Bencong Indonesia yang hanya beredar di kalangan tersendiri. Di sana, ada semua yang kamu perlu ketahui tentang bencong. Kapan dimulainya gerakan bencong turun ke jalan. Jenis-jenis pekerjaan yang cocok untuk bencong. Hingga bagaimana mengubah nama laki-laki jadi nama bencong.

ss source, to be continue..

1 comment:

Pada "Comment as:" kamu bisa pilih Anonymous atau Name/URL ;)