referensi |
Perennial berasala dari bahasa
Latin, Perennis, yang kemudian diadopsi ke dalam bahasa
Inggris, berarti kekal, selama-lamanya, atau abadi. Istilah perennial biasanya
muncul dalam wacana filsafat agama di mana agenda yang dibicarakan adalah,
pertama, tentang
Tuhan, Wujud Yang Absolut, sumber dari segala wujud Tuhan Yang Maha Benar
adalah satu, sehingga semua agama yang muncul dari Tuhan Satu pada prinsipnya
sama karena datang dari Sumber yang sama. Kedua, Filsafat Perennial ingin membahas fenomena pluralisme
agama secara kritis dan kontemplatif. Meskipun Agama (religion) dengan A
dan R besar yang benar hanya satu, tetapi karena ia diturunkan pada manusia
dalam spektrum historis dan sosiologis, maka bagaikan cahaya matahari yang
tampil dengan beragam warna. “Religion” dalam konteks historis selalu hadir
dalam formatnya yang pluralistik (religion atau agama-agama dengan r dan
a kecil, juga sekaligus menunjukkan plural). Dalam konteks ini, maka setiap
agama memiliki kesamaan dengan yang lain, tetapi sekaligus juga memiliki
kekhasan sehingga berbeda dari yang lain. Ketiga, Filsafat
Perennial berusaha menelusuri akar-akar kesadaran religiulitas seseorang atau
kelompok melalui simbol, ritus serta pengalaman keagamaan. Dengan begitu,
secara metodologis Filsafat Perennial berhutang pada apa yang disebut sebagai
transcendental psychology.
Dalam
penelitian Nasr, ditunjukkan bahwa istilah Filsafat Perennial pertama kalinya
digunakan di dunia Barat oleh seorang yang bernama Augustinus Steuchus
(1497-1548) untuk sebuah karyanya yang berjudul De Perenni Philosophia yang
diterbitkan pada 1540. Belakangan istilah itu kian populer di tangan Leibniz
yang digunakan dalam sepucuk surat untuk temannya, Remundo, yang ditulis pada
1715. Pada kesempatan itu, ia menegaskan bahwa dalam perbincangan tentang
pencarian jejak-jejak kebenaran di kalangan para filsuf kuna, dan tentang
pemisahan yang terang (light) dari yang gelam (darkness), hal tersebut
sesungguhnya tak lain dari Filsafat Perennial,
Dalam sebuah pengertian, sanatâna dharma atau sophia
perennis dihubungkan dengan tradisi primordial, dan karena itu menuju
doktrin-doktrin tradisional pada priode kontemporer, menerjemahkan tradisi
dengan filsafat perennial dengan hubungan yang sangat mendalam.
Tradisi intelektual Islam, baik dalam gnostiknya (mârifah atau ‘irfan)
dan aspek-aspek filosofis maupun teosofis (falsafah-hikmah), melihat
sumber kebenaran yang unik ini sebagai “Agama Kebenaran” (din al-haqq)
dalam ajaran nabi-nabi kuna dimana Adam sebagai tempat kembalinya dan memandang
Nabi Idris yang diidentifikasikan dengan Hermes sebagai “bapak para filsuf” (Abu
al-Hukama’).
Tak sedikit
sufi yang menyebutkan bahwa bukan hanya Plato “ilahi”, tetapi termasuk juga
Phytagors, Empedocles, dengan kajian pentingnya, yang mempengaruhi
ajaran-ajaran tertentu sufisme, bahwa hikmah primordial berhubungan dengan
ramalan (prophecy). Bahkan filsuf-filsuf Paripatetik (masysyâ’i)
yang lebih awal sperti Al-Farabi, melihat hubungan antara filsafat, ramalan dan
wahyu. Tokoh-tokoh belakangan seperti Suhrawardi (1155-1197) menerngkan
perspektif ini secara amat mengagumkan termasuk tradisi Persia pra-Islam. Dalam
konteks ini, Suhrawardi dipengaruhi oleh ajaran Zoroastreanisme, khususnya
tentang doktrin angelologi dan simbolisme cahaya (light) dan kegelapan (darkness).
Ia menyamakan kebijakan para empu Zoroastrian kuna dengan ajaran Hermes dan
dengan ajaran-ajaran filsuf kuna sebelum Aristoteles, terutama Phitagoras dan
Plato yang gagasannya hendak dihidupkan kembali. Pemikiran sufistiknya
dipengaruhi oleh al-Hallaj dan dalam batas tertentu juga al-Ghasali, terutama
untuk karyanya misykât al-Anwâr. Akhirnya secara langsung, ia
dipengaruhi oleh tradisi besar Hermetisisme yang merupakan peleburan ajaran
kuna Mesir, Khaldea, dan Sabaea yang melandaskan dirinya pada simbolisme
primordial al-kimi. Suhrawardi menganggap dirinya sebagai
pembangkit kembali kearifan abadi (philosophia perennis), atau apa yang
disebutnya hikmah al-ladunniayyah atau al-‘Atiqah yang
hidup dalam alam pikiran India, Persia, Babilonia, Mesir, dan Yunani kuno
hingga masa Plato.
Sementara itu,
dalam Taoisme dikenal istilah Tao yang secara harfiah berarti jalan. Ia
tak lain adalah asas kehidupn manusia yang harus diikuti jika ia ingin natural
sebagai manusia. Tao adalah hakekat alam semesta dan melampaui alam semesta.
Tao adalah sebelum adanya alam semesta ini. Dari sudut etis dan ontologis,
Kofusianisme akan menyebut realitas terakhir dan tertinggi adalah Surga, tetapi
Taoisme menyebutnya Tao. Tao melebihi surga, Tao mencakup segala sesuatu.
Segala pemenuhan yang ada dialam ini dilakukan oleh Tao. Yang dilakukan secara
spontan dan tanpa sengaja. Dalam Islam ada al-din yang secara
harfiah berarti “ikatan” yang harus menjadi dasar dalam beragama bagi seorang
Muslim (yang pasrah). Namun berbagai nama dan bungkus tersebut, tetap bukanlah
merupakan tujuan, melainkan lebih merupakan jalan agar manusia
bisa terbebas dari belenggu-belenggu dunia material yang cenderung menyengsarakan
dan bisa mencapai kehidupan primordial yang merupakan kehidupn alami manusia.
No comments:
Post a Comment
Pada "Comment as:" kamu bisa pilih Anonymous atau Name/URL ;)