May 10, 2015

Filsafat Perennial : Seyyed Hossein Nasr

Seyyed Hossein Nasr


Pikiran-pikiran Nasr disekitar ini muncul sebagai reaksi terhadap apa yang dilihatnya sebagai krisi manusia modern. Peradaban modern –khususnya di Barat dan ditumbuhkembangkan di dunia Islam –menurut Nasr telah gagal mencapai tujuannya, yakni semakin terduksinya integritas kemanusiaan. Nasr menjelaskan :

Manusia modern telah lupa siapakah ia sesungguhnya. Karena manusia modern hidup di pinggir lingkaran eksistensinya; ia hanya mampu memperoleh pengetahuan tentang dunia yang secara kualitatif bersifat dangkal dan secara kuantitatif berubah-ubah. Dari pengetahuan yang hanya bersifat eksterbal ini, selanjutnya ia berupaya merekonstruksi citra diri. Dengan begitu manusia modenr semakin jauh dari pusat eksistensi, dan semakin terperosok dalam jeratan pinggir eksistensi.
Dengan demikian, filsafat perennia Seyyed Hossein Nasr adalah respon yang dimunculkannya setelah melihat dengan seksama krisis manusia modern. Karenanya topik yang paling menonjol dari pemikiran filsafatnya adalah tentang pembebasan manusia modern dari perangkap dan keterpasungna budaya dan peradaban yang diciptikan manusia sendiri. Topik ini terangkum dalam apa yang disebutnya sebagao sufisme atau aliran tradisional.
Bagian ini akan membahas pembelaan dan pandangna Nasr terhadap sufisme, dan sufisme sebagai alternatif pembebasan manusia modern.di akhir, akan dicoba membahas kritik filsafat perennial Nasr dalam memahami manusia dan alam.
  1. Pembelaan Nasr terhadap Sufisme
Nasr berpandangan amat postif tentang peranan sufisme dalam sejarah Islam. Dicontohkannya, vitalitas keagamaan yang dimiliki pribadi ulama klasik yang refleksinya tampak pada karya-karya besar mereka merupkana pengejawantahan kedalaman penghayatan mereka terhadap nilai-nilai esoterik Islam. Bahkan dalam penyebaran agama Islam khususnya di India, Asia Tenggara dan Afrika selalu diawalai oleh keteladanan pribadi sufi, pemimpin tarekat, kemudian diikuti penataan syari’at. Oleh karena itu, menurut Nasr, sufisme tidak bisa dijadikan kambing hitam fatas segala penyakit yang ada dalam masyarakat Islam.
Kemunduran umat Islam kara Nasr, justru antara lain disebabkan penghancuran tarekat sufi oleh bentuk-bentuk baru rasional puritan sperti Wahabisme di Arabia dan Ahl al-Hadis di India. Akibatnya menurut Nasr, dengan menolak sufisme dan mengkambinghitamkannnya sebagai penyebab kemunduran umat, Islam direduksi sampai tinggal   doktrin fiqh yang kaku, yang pada gilirannya tidak berdaya menghadapi serangan bertubi-ubi intelektual Barat.
Syari’at, tanpa memperhatikan dimensi batinnya, maka ia akan kering dari kedalaman penghayatan rohaniah.spritual, yang pada akhirnya tinggal sebagai doktrin kaku, formalistik dan verbalistik. Jika demikian halnya menurut Nasr, manusia yang melaksanakan syari’at tersebut akan gagal mencapai kebenara. Oleh karena itu, kedua dimensi agama tersebut, yakniaspek syari’a (az-zahir, outward) dan sufisme (al-batin inward) haruslah mengintegral dalam pengalaman agama setiap muslim.
Bagi Nasr, sufisme ibarat jiwa yang menghidupkan tubuh. Dalam Islam, sufisme merupakan jantung (the heart) dari pewahyuan Islam. Sufisme telah menghidupkan semangatnya ke dalam struktur Islam, baik dalam manifestasi sosial dan intelektual. Tarekat-tarekat Sufi, sebagai institusi terorganisasi dalam matriks yang lebih besar masyarakat itu juga, ada kelompok sekunder yang berfasilitas dengan tarekat, seperti kelompok, bahwa berabgai isu dalam sejarah Islam tidak akan bisa dipecahkan tanpa memperhitungkan peran yag dimainkan sufisme.
  1. Sufisme sebagai alternatif pembebasan manusia modern.
Sebagai dijelaskan di atas bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengantarkan manusia modern kejurusan hakikatnya yang nista. Manusia modern terperangkap dan terpasang oleh tirani modernitas yang diciptakannya sendiri. Hal ini semakin memperjelas bahwa manusia modern gagal memahami hakikat dan tujuan hidupnya. Mereka mengalami kekeringan batin yang memerlukanupaya mendesak untuk penyembuhannya.
Pengamatan Nasr di Barat, bahwa masyarakat Barat telah berusaha mencari jawaban dengan cara kembali merangkul agama setelah lama dilupakan. Mereka telah mencarinya dalam agama Kristen dan Budha, ternyata tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Dalam situasi kebingungan seperti ini, sementara mereka selama berabad-abda memandang Islam dari sisi legalistik-formalistik, yang tidak memiliki dimensi esoterik, maka menurut Nasr, kini saatnya dimensi batiniah Islam harus diperkenalkan sebagai alternatif.
Dalam hal ini Nasr memandang bahwa sufisme dan tradisi mistikal sakral lainnya merupakan alternatif jawaban. Bagaimana agar sufisme dapat menjadi alternatif?
Nasr menegaskan, lebih awal perlu dipahami bahwa sufisme dalam Islam berbda dengan sufise pada agama lain. Oleh karena itu, sufisme dalam Isla harus dipahami melalui sumbernya yakni al-Qur’an dan Hadis/pola hidup Nabi Muhammad SAW, dan seseorang tidak bisa masuk ke jalur tarbiyah- metode pendakian spritual yang khusus bagi sufi-sebelum memasuki lingkaran syari’at.
Pada masyarakat modern-khususnya di Barat sufisme dapat mempengaruhi masyarakat pad tiga tataran: pertam: kemungkinan mempraktikan sufisme secara aktif. Cara ini kata Nasr hanya untuk segelintir orang saja, karena mensyaratkan penyerahan mutlak kepada disiplin tasauf. Pada tataran ini, orang harus mengikuti Hadis Nabi:”Matilah kamu sebelum engkau kamu Mati”. Maksudnya, orang harus ”mematikan” diri sebelum dilahirkan kembali secara spritual. Pada tahap ini orang harus membatasi kesenangan terhadao dunia materi dan kemudian mengarahkan hidupnya untuk bermeditasi, berdoa, mensucikan batin, mengkaji hati nurani, dan melakukan praktik-praktik ibadah lain seperti yang lazim dilakukan para sufi.
Kedua, sufisme mungkin sekali dapat mempengaruhi masyarakat modern dengan cara menyajikan Islam dalam bentuk yang lebih menarik, sehingga orang dapat menemukan praktik-praktik sufisme yang benar. Intinya adalah sajian Islam yang mengintegral antara aspek spritual Islam dengan sufisem sebagai esensinya. Dengan aktifitas duniawi yang profan. Dengan begitu, sufisme Islam membuka  peluang lebih besar bagi pencarian spritual barat yang tengah dilanda krisis makna hidup.
Ketiga, menfungsikan sufisme sebagai alat bantu untuk recollection (mengingatkan) ataureawakening (membangunkan) orang Barat dari tidurnya. Karena sufisme merupakan tradisi yang hidup dan kaya dengan doktrin-doktrin metafisis, kosmologis, sebuah psikologi dan psiko-terapi religius yang hampir tak pernah dipelajari di Barat, maka ia dapat menghidupkan kembali bergerak aspek kehidupan rohani Barat yang selama ini tercampakkan dan terlupakan.
Pemenuhan aspek batini/spritual ini- sebagai berulang kali dinyatakan Nasr- sangat mendesak bagi masyarakat modern. Memang secara fitrati tak mungkin diingkari, karena manusia memiliki dimensi rohani. Oleh karena itulah Nasr mengatakan bahwa pencarian spritual dan mistikal bersifat prennial, yakni suatu kewajaran yang natural dalam kehidupan individu dan kolektif manusia. Ketika masyarakat manusia berhenti mengakui kebutuhan yang natural (fitrati) ini, maka pada saat itu pula masyarakat tersebut ambruk ditimpa beban berat strukturnya.
  1. Kritik Filsafat Prennial Nasr terhadap ara pandang manusia modern dalam memahami manusia dan alam.
Nasr menumpahkan kritiknya yang tajam terhadap manusia modern terutama dalam dua buah karya: Man and Nature: The Spritual Crisis of Modern Man (1968) dalam Islam and the Ploght of  Modern Man (1975). Menurut Nasr, krisis peradaban modern bersumber dari penolakan (negation) terhadap hakikat ruh dan penyingkiran ma’nawiyah secara graudal dalam kehidupan manusia. Manusia modern mencoba hidup dengan roti semata; mereka bahkan berupaya ”membunuh” Tuhan dan menyatakan kebebasan dari kehidupan akhirat. Konsekwensinya, ujar Nasr, kekuatan dan daya manusia mengalami eksternelisasi, sehingga manusia kemudian ”menaklukkan” alam/dunia tanpa batas. Manusia menciptakan hubungan baru dengan alam dipandang tak lebih dari sekedar objek dan sumber daya yang perlu dikuras dan dieksploitasi semaksimal mungkin.
Persoalan fundamental tersebut muncul karena masyarakat Barat modern kehilangan visi keilahian. Penglihatan intelektualitasnya telah tumpul dalam melihat realitas hidup dan kehidupan. Istilah intellectus  menurut Nasr mempunyai konotasi kapasitas ”mata hati”, satu-satunya elemen esensi manusia yang sanggup menatap bayang-bayang Tuhan yang diisyaratkan oleh alam semesta. Nasr menjelaskan:
Manusia terdiri dari tiga unsur: jasmani, jiwa dan intellek, yang terakhir ini berada di atas dan di pusat eksistensi manusia. Esensi manusia, atau hal yang esensial dari sifat manusia, hanya dapat dipahami oleh intellek, yang menurut istilah tradisionalnya disebut ”mata hati” (’ain al-qalb). Begitu mata hati tertutup, dan kesanggupan intellek dalam perhatiannya yang sedia jala mengalami kemandekan, maka kita tidak mungkin mencaai pengetahuan yang esensial tentang hakikat manusia.
Disebabkan intelektus di atas difungsional, maka sesungguhnya apa pun yang diraih manusia modern yang berada di pinggir (rim atau periphery) tidak lebih dari sekedar pengetahuan yang ”terpecah-pecah” (fragmented knoledge), tidak utuh lagidan bukanlah pengetahuan yang mendatangkan kearifan untuk melihat hakikat alam semesta sebagai kesatuan yang tunggal, cermin keesaan dan kemahakuasaan Tuhan. Orang dapat melihat realitas lebih utuh manakala ia berada pada titik ketinggian dan titik pusat. Nasr menandaskan, ”yang lebih tingi sajalah (level eksistensi) yang dapat memahami yang lebih rendah”.
Manusia untuk dapat mencapai level eksistensi, kata Nasr harus mengadakan pendakian spritual dan melatih ketajaman intellectus. Pengetahuan fragmentaris tidak dapat digunakan untuk melihat realitas yang utuh kecuali jika ia memiliki visi intellectus tentang yang utuh tadi. Kemudian, dalam setiap hal pengetahuan dari pusat (centre atau axis), karena pengetahuan ini sekaligus mengandung pengetahuan tentang ap yang ada di pinggir dan juga ruji-ruji yang menghubungkannya. Dan manusia dapat mengetahui dirinya secara sempurna, hanya bila ia mendapat bantuan ilmu Tuhan, karena keberadaan yang relatif hanya akan berarti bila dikaitkan pada yang absolut, Tuhan.
Menurut Nasr, karena intellectus di atas tidak berfungsi, maka pengetahuan yang dihasilkan oleh pemikiran manusia modern tidak sanggup untuk mencapai hakikat realitas. Dengan demikian, tidak dapat diharapkan dari mereka yang berada di pinggir eksisstensi suatu pengetahuan yang utuh dan menyeluruh, malah sebaliknya, manusia yang demikian hanya akan menghasilkan ilmu pengetahuan yang ”terpecah-pecah”. Manusia dapat melihat realitas lebih utuh mankala berada di titik pusat.
Problem manusia modern secara filosofis berpusat pada tidak berfungsinya intelektus ini, sehingga konsep metafisika Barat berubah dari philosophia menjadi data empiris, yang hanya mampu melahirkan konsepsi rohaniah yang palsu (pseudo spritual). Di sinilah akar persoalan krisis manusia modern yang merambah ke seluruh dimensi kehidupan manusia.

No comments:

Post a Comment

Pada "Comment as:" kamu bisa pilih Anonymous atau Name/URL ;)