Hujan hujan hujan jangan marah, jajaran keramik sedang kupijak duduk diatas kayu terbentuk melihat aku ke selatan. Sedang tanah dihujani ratusan juta
titik air yang menusuk, terdengar kencang sewaktu bertabrak dengan substansi apapun itu. Terdengar sama disetiap nada.. Itulah hujan, dan saya melihat begitu banyak runtuhan asam gugur berjatuhan. Buah buah yang bergelayutan seakan lepas dari tumbuhan besar yang mereka sebut pohon. Inilah saya yang sedang menunggu apa arti dari kering yang menunjukkan seisinya apa yang tersinar sehingga saya bisa melihat. Beberapa sosok ada di dekat saya ketika ini, simerah jaket, merah kerudung, rambut kuning, rambut keriting waw, dan seorang lagi tak mengenal saya nya. Ada beberapa lagi, namun entahlah dimana mereka. Tidak bersemangat setara mengucap sepatah katapun, tapi tetap tidak menghentikan hembus angin dari langit. Saudahlah, mungkin ini sedikit bebatuan, bebatuan yang kasat oleh mata, meringsak masuk kemana saja, merusak segala arah bertujuan ke apapun letaknua. Belum saya ijab kan dedoa yang seharusnya kudirikan sejak berkumandangnya langit menjelang gelap ini. Tapi tetap saja saya berada di sisi yang rautnya tak bisa diduga. Memiliki perasaan di pagi hari bukanlah hal yang baik, menurut saya. Tapi saya merasa bahwa ada yang salah di hari ini, entah karena gengsi atau egois tinggi, tapi yang saya rasa, obrolan kita tidak berasa dan semacam hanya basa basi. Mungkin saya merndukan kamu yang dulu, tapi pedulikah barisan air vertikal yang engkau terjang sekarang. Saya mengiyakan dan silakan saja bila memang itu bisa membuatmu sampai pada yang kau mau, tapi katakan sesuatu apapun itu seperti hujan yang selalu bersuara. Saya heran, dimanakah saya yang dulu, dimanakah kamu yang sekarang, pun sebaliknya saya merindukan kiasan aeio itu.
5.12pm 6.12.12 selasar filsafat
No comments:
Post a Comment
Pada "Comment as:" kamu bisa pilih Anonymous atau Name/URL ;)